DAERAH

Fraksi DPRD Kabupaten Nunukan Sampaikan Pandangan Umum dalam Rapat Paripurna

2
×

Fraksi DPRD Kabupaten Nunukan Sampaikan Pandangan Umum dalam Rapat Paripurna

Share this article

DPNTimes, Nunukan-Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Nunukan menggelar Rapat Paripurna ke-3 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2022-2023 terkait pandangan umum anggota DPRD melalui Fraksi atas penyampaian nota penjelasan Bupati Nunukan terhadap perubahan Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat (MHA)  pada Selasa (21/03).

Ketuan DPRD Nunukan Hj Rahma Leppa yang memimpin jalannya Rapat Paripurna ini menyebutkan empat fraksi menyampaikan pandangan umumnya sedangkan satu fraksi tidak menyampaikan pandangan umumnya dalam Rapat Paripurna ini namun telah menyampaikannya kepada Ketua DPRD Nunukan secara tertulis.

Pandangan Umum Fraksi Partai Hanura

 

Ahmad Triyadi selaku juru bicara (jubir) Fraksi Partai Hanura menyebutkan bahwa Fraksinya menyetujui perubahan Perda Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pemberdayaan Masyarakat Adat untuk dibahas rancangan Peraturan Daerah sesuai tahapan-tahapan dalam rangka penyelarasan, pembulatan, dan pemantapan rancangan peraturan tersebut, baik terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun dinamika sosial masyarakat Kabupaten Nunukan.

“Kedua, Fraksi Partai Hanura meminta kepada Anggota DPRD Kabupaten Nunukan untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menindaklanjuti pembahasan rancangan peraturan Daerah Kabupaten Nunukan tentang perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Nunukan Nomor 16 tahun 2018 Tentang Pemberdayaan Masyarakat Adat,” paparnya singkat.

Pandangan Umum Fraksi Partai Demokrat

Sejalan namun lebih mendetailkan penyampaian pandangan umumnya, Fraksi Partai Demokrat (FPD) melaui Gat selaku jubir menyebut sejumlah point pendapat atau pandangan. Pertama, Persoalan utama MHA di wilayah Kabupaten Nunukan adalah semakin terbatas dan atau berkurangnya hak atas ruang hidup di atas tanah mereka sendiri.

Hal ini dikarenakan terjadi pengalihan hak MHA atas wilayah adat secara sistimatis atas nama pembangunan dengan nama HGU, Taman Nasional, Hutan Lindung, dll. Akibatnya, hari Ini MHA sudah tidak punya hak atas ruang hidup yang cukup.

“Hari Ini saja sudah terbatas atau tidak cukup, bahkan tidak ada, apalagi 20-50 tahun yang akan datang. Kondisi ini harus menjadi fokus perhatian atau landasan pijakan kita semua terkait revisi dimaksud. Sebab seperti kata pepatah, tikus mati di lumbung padi. Demikianlah nasib MHA,” tegas Gat

Ke dua, menurut FPD, pengalihan hak terjadi atas nama pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, tetapi fakta yang terjadi, MHA tidak mendapatkan pembangunan dan kesejahteraan yang dijanjikan tersebut. Bahkan yang terjadi adalah korporasi yang notabene mencari atau mengumpulkan kekayaan memenjarakan MHA atas tindakan perjuangan memperoleh hak makan dan hak hidup di atas tanah mereka sendiri.

“Oleh sebab itu, FPD meminta agar masalah Ini diakhiri dengan melakukan pengakuan, perlindungan dan pemberdayan atau penguatan MHA. Penguatan/pemberdayaan yang kami maksudkan meliputi kapasitas dan kapabilitas kelembagaan, legal standing dan pemetaan wilayah adat. Dalam konteks inilah, dukungan fasilitasi oleh pemerintah daerah menjadi sesuatu yang harus dan bahkan mutlak kita pikirkan ke depan,” paparnya.

Baca Juga  Jadi Atensi, Gubernur Minta Pengelolaan CSR Beri Dampak ke Masyarakat

Ke tiga, FPD berpandangan bahwa revisi yang akan dilakukan atas Perda Nomor 16 Tahun 2018 harus bermuara pada solusi terbaik dan komprehensif. Revisi haruslah menjamin, memastikan eksistensi MHA lebih kokoh, lebih kuat dari sebelumnya. Revisi yang akan dilakukan tidak boleh mengebiri, menghilangkan atau mengaburkan sebagian atau seluruh eksistensi dan hak-hak MHA sebagaimana dimaksud UUD 45 Pasal 188 ayat 2, yang mengatakan: Negara mengakul dan menghomati kesatuan MHA serta hak-hak tradisdionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam undang-undang.

“Ke empat, Dalam konteks MHA, FPD berpandangan bahwa Perda 16 Tahun 2018 sesungguhnya tidaklah cukup kuat untuk memayungi keberadaan atau eksistensi MHA dalam wilayah Kabupaten Nunukan. Kami berpendapat bahwa legalitas hukum yang diharapkan oleh MHA adalah perda tentang Pengakuan dan Perlindungan MHA. Sedangkan ketentuan tentang pemberdayaan harusnya berupa bab atau pasal dari perda pengakuan dan perlindungan atau berupa peraturan turunan dari perda,” tambah Gat.

Ke lima, lanjut dia, Dalam Nota Penjelasan, disebutkan bahwa revisi merupakan bentuk penghormatan pemerintah daerah terhadap kesatuan MHA dan juga komitmen untuk mengakomodir seluruh kepentingan MHA akan pengakuan dan perlindungan keberadaannya. Oleh sebab itu, FPD berpendapat bahwa penghormatan yang diberikan haruslah berupa komitmen tindakan kongkrit (tanggung jawab) yang diuraikan dalam pasal demi pasal dari revisi yang akan dilakukan. Tanggung jawab pemerintah daerah haruslah jelas dan terinci.

Ia mencontohkan, pemerintah daerah bertanggung jawab memberi fasilitasi sarana, informasi, partisipasi dalam perencanaan pembangunan. Siapa melakukan apa, kapan, dan juga siapa bertanggung jawab terhadap apa atau kepada siapa.

“Demikian juga halnya dengan hak-hak khusus MHA, juga harus dijabarkan secara rinci sehingga menggambarkan batas hak yang jelas (hak-hak kolektif MHA Ini, kalangan MHA lazim disebut dengan Istilah Free, Prior and Informed Consent/FPIC). Penghormatan pemerintah daerah tidak boleh hanya sebatas kata-kata (lips service), harus berwujud dalam bentuk tindakan nyata dan rencana kerja terukur,” imbuhnya.

Ke enam, FPD berpendapat bahwa penghapusan pasal-pasal substansial justru kontra produktif dengan semangat MHA memperkuat dirinya dan juga bertolak belakang dengan apa yang disampaikan oleh pemeritah dalam Nota Penjelasan Bupati bahwa revisi merupakan bentuk penghormatan yang tinggi terhadap keberadaan MHA. FPD menegaskan, penghapusan pasal 9-11 yang memuat hak-hak dasar MHA merupakan bentuk amputasi kekuatan MHA itu sendiri.

Ke tujuh, FPD berpendapat bahwa perlu atau penting dalam revisi Perda Nomor 16 Tahun 2018 ini dimuat klausul yang mengatur mekanisme atau tahapan penyelesaian masalah antar lembaga adat. Perlu dibentuk Panitia atau Badan khusus yang terdiri dari pemerintah, MHA, NGO, akademisi, tokoh agama dan lain-lain yang mempunyai tugas dan fungsi mengelola urusan-urusan MHA yang kemudian akan menjadi sekretatiat bersama semua kelompok MHA.

“Terakhir, FPD secara prinsip setuju dan siap melakukan pembahasan dengan catatan bahwa revisi yang akan dilakukan haruslah dengan tujuan memperkuat kedudukan keberadaan MHA dalam wilayah Kabupaten Nunukan,” tegasnya.

Baca Juga  Bersama Warga, Satgas TMMD Ke-112 Kodim 1002/HST Mulai Persiapkan Penutupan TMMD

Pandangan Umum Fraksi Gerakan Karya Pembangunan

Berkenaan dengan Perubahan Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2018 yang diusulkan oleh Bupati Nunukan, Fraksi Gerakan Karya Pembangunan (FGKP) secara faktual menilai setiap Provinsi di Indonesia terdapat kesatuan-kesatuan MHA dengan karakteristiknya masing-masing yang telah ada sejak ratusan tahun yang lalu.

“Masyarakat Hukum adat merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Bangsa Indonesia, keberadaannya tidak dapat dipungkiri sejak dahulu hingga saat ini. Konstitusi Indonesia menggunakan beberapa istilah untuk menunjuk kesatuan MHA, seperti kesatuan MHA, masyarakat adat, serta masyarakat tradisional,” papar Siti Raudah selaku jubir FGKP.

Ia menambahkan, hak-hak tradisional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang merupakan hak konstitusional MHA karena pengakuan terhadap hak-hak tradisional itu disebutkan dalam konstitusi. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya…”.

Oleh karena itu, lanjut Siti Raudah, semua hak tradisional masyarakat hukum adat sekaligus merupakan hak konstitusional. Peraturan Daerah No. 16 tahun 2018 tentang Pemberdayaan Masyarakat Adat diusulkan diubah dengan mempertimbangkan aspek penting dan krusial yaitu Masyarakat Hukum Adat. Karena pengakuan dan Perlindungan bagi Masyarakat Hukum Adat melalui Peraturan Daerah adalah sebagai Implikasi dari Undang-Undang Desa.

“Pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat adalah penting, karena harus diakui secara tradisional masyarakat adat lahir dan telah ada jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. sehingga Peraturan Daerah menjadi payung hukum yang mengakui dan melindungi Masyarakat Adat secara formal dan resmi oleh Negara dan Undang-Undang,”jelas dia.

Lebih lanjutkan disebutkan Siti Raudah, dalam rangka memfungsikan hukum adat sebagai rumah besar pelindung bagi masyarakat, baik itu menjaga dan melestarikan hutan adat hingga persoalan yang mencakup sosial kemasyarakatan maka penyusunan Peraturan Daerah tentang Pemberdayaan Masyarakat Adat merupakan salah satu bentuk keberpihakan pemerintah daerah kepada masyarakat adat di Kabupaten Nunukan.

Fraksi Gerakan Karya Pembangunan berharap proses pembahasan antara Badan Pembentuk Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Kabupaten Nunukan dan Bagian Hukum Pemerintah Daerah Kabupaten Nunukan dapat dimaksimalkan dengan melibatkan serta mendengarkan masukan dari tokoh-tokoh adat dan sejarawan yang berkompeten agar menghasilkan peraturan daerah yang sesuai dengan kondisi faktual di Kabupaten Nunukan sehingga mampu memenuhi hak-hak tradisional masyarakat Kabupaten Nunukan.

Pandangan Umum Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Pada dasarnya, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera sangat mendukung dan memberikan apresiasi yang sangat tinggi. Masyarakat hukum adat merupakan sekelompok orang yang secara rutin turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Indonesia dengan 17.504 pulau dan 1.340 suku bangsa 748 bahasa, di mana provinsi kalimantan utara bagian di dalamnya. Bahasa adalah dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang artinya bahwa ‘kita berbeda-beda, tetap satu’,”. jelasAndi Krislina selaku jubir F-PKS.

Baca Juga  Wabup HST Beserta Tim Pengawasan dan Evaluasi Tinjau Hasil TMMD Ke-112 Kodim 1002/HST

Oleh karena itu, lanjut Andi Krislina menambahkan, keberagaman suku/adat tidak melunturkan semangat persatuan, justru menjadi pengkayaan budaya dan modal pembangunan bangsa Indonesia dengan Pancasila sebagai perekat.

Merawat keberadaan suku bangsa dengan menjaga nilai luhur bidaya/adat istiadatnya ibarat menjaga keberadaan manusia. Negara hadir untuk mengakui dan melindungi keberadaan suku bangsa dalam bentuk formal/ non formal antara lain berupa pengakuan keberadaan MHA.

Istilah masyarakat hukum adat adalah istilah resmi yang tercantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Undang-Undang 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Istilah ini dilahirkan dan digunakan oleh pakar hukum adat yang lebih banyak difungsikan untuk keperluan teoritik akademis. Sedangkan istilah masyarakat adat adalah istilah yang lazim diungkapkan dalam bahasa sehari-hari oleh kalangan non hukum yang mengacu pada sejumlah kesepakatan internasional.

“Para tokoh masyarakat adat merumuskan masyarakat hukum adat sebagai sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan, bentuk dan susunan masyarakat hukum yang merupakan persekutuan hukum adat itu. Para anggotanya terikat oleh faktor yang bersifat territorial dan geneologis,” tambahnya.

Menurut pengertian yang dikemukakan para ahli hukum di zaman hindia belanda, kata Andi Krislina, yang dimaksud dengan masyarakat hukum atau persekutuan hukum yang territorial adalah masyarakat yang tetap dan teratur yang anggota–anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu, baik dalam kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitan rohani sebagai tempat pemujaan terhadap roh-roh leluhur.

“Menyikapi terkait perubahan peraturan daerah tersebut, kita perlu sangat memperhatikan apa yang menjadi kewenangan dari pemerintah untuk melindungi serta menjaga dan melestarikan adat istiadat MNA yang ada di wilayah Kabupaten Nunukan. Perubahan pada 14 pasal dalam rancangan perubahan perda tesebut hendaknya menitik beratkan pada pemberdayaan serta perlindungan MHA secara terstruktur,” pungkasnya.

Baca Juga

Author

Bagikan ini...

Leave a Reply

Verified by MonsterInsights