NEWS

Prof Henri Subiakto: UU ITE Harus Dikawal agar Tak Menjadi Alat Pembungkam Pers

40
×

Prof Henri Subiakto: UU ITE Harus Dikawal agar Tak Menjadi Alat Pembungkam Pers

Share this article

DPNTimes.com, Jakarta – Dewan Pakar Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Prof Henri Subiakto menegaskan bahwa Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) merupakan konsekuensi logis dari perkembangan teknologi digital yang melahirkan bentuk-bentuk komunikasi baru di masyarakat.

Hal tersebut disampaikan Prof. Henri dalam Dialog Nasional bertema “Media Baru vs UU ITE” yang diselenggarakan SMSI Pusat secara daring melalui platform Zoom Meeting, Selasa (28/10/2025).

Kegiatan ini digelar dalam rangka menyongsong peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2026.

Menurutnya, perkembangan teknologi informasi telah menghadirkan beragam aktivitas berbasis internet yang menimbulkan perbuatan hukum baru sehingga membutuhkan dasar pengaturan.

“Transaksi dan aktivitas baru berbasis internet menimbulkan perbuatan hukum baru yang perlu diatur. Karena itu, UU ITE menjadi penting,” ujar Prof. Henri.

Baca Juga  Dialog Nasional SMSI Songsong HPN 2026: “Media Baru vs UU ITE”

Ia memaparkan, jumlah pengguna internet di Indonesia saat ini telah mencapai sekitar 191 juta orang, sementara pengguna media sosial seperti Facebook, WhatsApp, dan X (Twitter) mencapai lebih dari 224 juta akun aktif.

Dengan jumlah tersebut, UU ITE menjadi salah satu regulasi yang paling sering digunakan dalam berbagai kasus hukum di Indonesia.

Namun, Prof. Henri menyoroti bahwa penerapan UU ITE kerap menimbulkan persoalan, terutama ketika digunakan untuk menjerat karya jurnalistik maupun opini publik yang disampaikan melalui media.

“Wartawan dan media bekerja dalam koridor Undang-Undang Pers. Mereka tidak bisa diperlakukan sama dengan pengguna media sosial biasa. Tapi sayangnya, masih sering ada salah tafsir dalam penerapan UU ITE terhadap produk jurnalistik,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menilai bahwa di era digital saat ini, media baru seperti podcast dan media daring berkembang pesat karena kemudahan akses serta rendahnya biaya produksi.

Baca Juga  WBP Lapas Kelas IIB Nunukan Panen 883 Kg Buah Kelapa Sawit

“Podcast itu menarik karena mudah diakses dan dibuat. Biayanya murah, sehingga lebih independen dari tekanan iklan atau sponsor,” jelasnya.

Meski demikian, Prof. Henri mengingatkan bahwa media baru tetap harus memegang prinsip jurnalisme dan kode etik pers, termasuk dalam hal verifikasi fakta dan menjaga objektivitas pemberitaan.

“Podcast dan media daring memang berbeda format, tapi secara fungsi keduanya sama-sama menyampaikan informasi kepada publik. Hanya saja, banyak yang belum diakui secara resmi oleh Dewan Pers,” tuturnya.

Ia juga menyoroti masih maraknya kasus kriminalisasi terhadap jurnalis yang dilaporkan menggunakan UU ITE, terutama ketika karya jurnalistik menyinggung isu sensitif seperti korupsi atau kritik terhadap pejabat publik.

“Sekarang banyak orang yang kerjanya lapor. Sedikit berbeda pendapat, langsung dilaporkan dengan UU ITE. Ini yang menakutkan,” tegasnya.

Menutup paparannya, Prof. Henri mendorong SMSI untuk berperan aktif dalam memperjuangkan revisi UU ITE agar penerapannya tidak mengekang kebebasan pers maupun kebebasan berpendapat.

Baca Juga  RSUD dr. H. Jusuf SK Gelar Donor Darah bersama BUMN dan Swasta, Jaga Stabilitas Suplai Darah

“SMSI perlu mengambil peran untuk memastikan UU ITE tidak menjadi alat pembungkam, tapi tetap mengedepankan semangat kebangsaan dan kebaikan bagi bangsa,” tegasnya. (***)

Author

Bagikan ini...

Leave a Reply

Verified by MonsterInsights